2.1.
Budi
Utomo
Budi Utomo ( ejaan Soewandi : Boedi Oetomo ) adalah sebuah organisasi
pemuda yang didirikan oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA yaitu Goenawan
Mangoenkoesoemo dan Soeraji pada tanggal 20 Mei 1908. Digagaskan oleh Dr.
Wahidin Sudirohusodo. Organisasi ini bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan
tetapi tidak bersifat politik. Berdirinya Budi Utomo menjadi awal gerakan yang
bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia walaupun pada saat itu organisasi ini
awalnya hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa. Saat ini tanggal
berdirinya Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi, bertempat di salah
satu ruang belajar STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan bahwa
hari depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Maka lahirlah Boedi
Oetomo. Namun, para pemuda juga menyadari bahwa tugas mereka sebagai mahasiswa
kedokteran masih banyak, di samping harus berorganisasi. Oleh karena itu,
mereka berpendapat bahwa "kaum tua" yang harus memimpin Budi Utomo,
sedangkan para pemuda sendiri akan menjadi motor yang akan menggerakkan
organisasi itu.
Tujuan yang hendak dicapai dari pendirian organisasi Budi Utomo tersebut
antara lain:
·
Memajukan pengajaran.
·
Memajukan pertanian, peternakan dan perdagangan.
·
Memajukan teknik dan industri.
·
Menghidupkan kembali kebudayaan.
Sepuluh tahun pertama Budi Utomo mengalami beberapa kali pergantian
pemimpin organisasi. Kebanyakan memang para pemimpin berasal kalangan
"priayi" atau para bangsawan dari kalangan keraton, seperti Raden
Adipati Tirtokoesoemo, bekas Bupati Karanganyar (presiden pertama Budi Utomo),
dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.
2.2.
Sejarah
Budi Utomo
Organisasi Budi Utomo lahir pada tanggal 20 Mei 1908
dan menjadi tonggak permulaan pergerakan nasional di Indonesia. Pada awal
berdirinya, organisasi Budi Utomo hanya bergerak dalam bidang pendidikan dan
sosial budaya. Organisasi ini mendirikan sejumlah sekolah yang bernama Budi
Utomo dengan tujuan berusaha memelihara serta memajukan kebudayaan Jawa.
Anggota Budi Utomo terdiri dari kalangan atas suku Jawa dan Madura.
Budi Utomo memiliki sejumlah tokoh penting, antara
lain: Dr. Sutomo, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Gunawan Mangunkusumo. Sejak tahun
1915 organisasi Budi Utomo bergerak di bidang politik. Gerakan nasionalisme
Budi Utomo yang berciri politik dilatari oleh berlangsungnya Perang Dunia I.
Peristiwa Perang Dunia I mendorong pemerintah kolonial Hindia-Belanda
memberlakukan milisi bumiputera, yaitu wajib militer bagi warga pribumi.
Dalam perjuangannya di bidang politik, Budi Utomo
memberi syarat untuk pemberlakuan wajib militer tersebut. Syarat tersebut
adalah harus dibentuk terlebih dulu sebuah lembaga perwakilan rakyat
(Volksraad). Usul Budi Utomo disetujui oleh Gubernur Jenderal Van Limburg
Stirum sehingga terbentuk Volksraad pada tanggal 18 Mei 1918. Di dalam lembaga
Volksraad terdapat perwakilan organisasi Budi Utomo, yaitu Suratmo Suryokusomo.
Menyadari arti penting manfaat organisasi pergerakan
bagi rakyat, maka pada tahun 1920 organisasi Budi Utomo membuka diri untuk
menerima anggota dari kalangan masyarakat biasa. Dengan bergabungnya masyarakat
luas dalam organisasi Budi Utomo, hal ini menjadikan organisasi tersebut
berfungsi menjadi pergerakan rakyat. Kondisi ini dibuktikan dengan adanya
pemogokan-pemogokan buruh untuk menuntut kehidupan yang lebih baik.
Sejak tahun 1930 Budi Utomo membuka keanggotaannya
untuk semua bangsa Indonesia. Dalam bidang politik, Budi Utomo memiliki
cita-cita untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Dengan demikian, Budi Utomo telah
berkembang menjadi sebuah organisasi dengan sifat dan tujuan nasionalisme.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pada tahun 1935 Budi
Utomo menggabungkan diri dengan Partai Bangsa Indonesia (PBI) yang didirikan
oleh Dr. Sutomo. Hasil peleburan Budi Utomo dan PBI adalah Partai Indonesia
Raya (Parindra) yang diketuai oleh Dr. Sutomo.
2.3.
Perkembangan
Budi Utomo
Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat
kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang
Indo-Belanda yang sangat properjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang
mewujudkan kata "politik" ke dalam tindakan yang nyata. Berkat
pengaruh nyalah pengertian mengenai "Tanah Air Indonesia" makin lama
makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncullah
Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi
persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang
Indonesia tanpa terkecuali. Baginya "tanah air api udara" (Indonesia)
adalah di atas segala-galanya.
Pada tanggal 3-5 Oktober 1908, Budi Utomo
menyelenggarakan kongresnya yang pertama di Kota Yogyakarta. Hingga diadakannya
kongres yang pertama ini, BU telah memiliki tujuh cabang di beberapa kota,
yakni Batavia, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo.
Pada kongres di Yogyakarta ini, diangkatlah Raden Adipati Tirtokoesoemo (mantan
bupati Karanganyar) sebagai presiden Budi Utomo yang pertama. Semenjak dipimpin
oleh Raden Adipati Tirtokoesoemo, banyak anggota baru BU yang bergabung dari
kalangan bangsawan dan pejabat kolonial, sehingga banyak anggota muda yang
memilih untuk menyingkir. Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada
awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil
di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan
dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah oleh, antara lain, Tjokroaminoto,
menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia
yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini
ditakuti orang Belanda. Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu
rupanya yang menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan
perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij
karena dalam arena politik Budi Utomo memang belum berpengalaman. Karena
gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme makin
dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna
tersebut. Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun
kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan
kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi,
misalnya, rakyat menjadi sangat marah.
Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang
kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel "Als ik
Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan
sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu
pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes
Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda
(lihat: Boemi Poetera). Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor politik
di dalam pergerakan orang-orang pribumi.
Agak berbeda dengan Goenawan Mangoenkoesoemo yang
lebih mengutamakan kebudayaan dari pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Budi
Utomo adalah manifestasi dari perjuangan nasionalisme. Menurut Soewardi,
orang-orang Indonesia mengajarkan kepada bangsanya bahwa "nasionalisme
Indonesia" tidaklah bersifat kultural, tetapi murni bersifat politik.
Dengan demikian, nasionalisme terdapat pada orang Sumatera maupun Jawa,
Sulawesi maupun Maluku.
Pendapat tersebut bertentangan dengan beberapa
pendapat yang mengatakan bahwa Budi Utomo hanya mengenal nasionalisme Jawa
sebagai alat untuk mempersatukan orang Jawa dengan menolak suku bangsa lain.
Demikian pula Sarekat Islam juga tidak mengenal pengertian nasionalisme, tetapi
hanya mempersyaratkan agama Islam agar seseorang bisa menjadi anggota. Namun,
Soewardi tetap mengatakan bahwa pada hakikatnya akan segera tampak bahwa dalam
perhimpunan Budi Utomo maupun Sarekat Islam, nasionalisme "Indonesia"
ada dan merupakan unsur yang paling penting.
2.4.
Serikat
Islam
Sarekat Islam pada awalnya adalah perkumpulan
pedagang-pedagang Islam yang diberi nama Sarekat Dagang Islam (SDI).
Perkumpulan ini didirikan oleh Haji Samanhudi tahun 1911 di kota Solo.
Perkumpulan ini semakin berkembang pesat ketika Tjokroaminoto memegang tampuk
pimpinan dan mengubah nama perkumpulan menjadi Sarekat Islam. Sarekat Islam
(SI) dapat dipandang sebagai salah satu gerakan yang paling menonjol sebelum
Perang Dunia II.
Pendiri Sarekat Islam, Haji Samanhudi adalah seorang
pengusaha batik di Kampung Lawean (Solo) yang mempunyai banyak pekerja,
sedangkan pengusaha-pengusaha batik lainnya adalah orang-orang Cina dan Arab.
Tujuan utama SI pada awal berdirinya adalah
menghidupkan kegiatan ekonomi pedagang Islam Jawa. Keadaan hubungan yang tidak
harmonis antara Jawa dan Cina mendorong pedagang-pedagang Jawa untuk bersatu
menghadapi pedagang-pedagang Cina. Di samping itu agama Islam merupakan faktor
pengikat dan penyatu kekuatan pedagang-pedagang Islam.
Pemerintah Hindia Belanda merasa khawatir terhadap
perkembangan SI yang begitu pesat. SI dianggap membahayakan kedudukan
pemerintah Hindia Belanda, karena mampu memobilisasikan massa. Namun Gubernur
Jenderal Idenburg (1906-1916) tidak menolak kehadiran Sarekat Islam.
Keanggotaan Sarekat Islam semakin luas.
2.5.
Sejarah
Serikat Islam
Pada kongres Sarekat Islam di Yogayakarta pada tahun
1914, HOS Tjokroaminoto terpilih sebagai Ketua Sarekat Islam. Ia berusaha tetap
mempertahankan keutuhan dengan mengatakan bahwa kecenderungan untuk memisahkan
diri dari Central Sarekat Islam harus dikutuk dan persatuan harus dijaga karena
Islam sebagai unsur penyatu.
Politik Kanalisasi Idenburg cukup berhasil, karena Central
Sarekat Islam baru diberi pengakuan badan hukum pada bulan Maret 1916 dan
keputusan ini diambil ketika ia akan mengakhiri masa jabatannya. Idenburg
digantikan oleh Gubernur Jenderal van Limburg Stirum (1916-1921). Gubernur
Jenderal baru itu bersikap agak simpatik terhadap Sarekat Islam.
Namun sebelum Kongres Sarekat Islam Kedua tahun 1917
yang diadakan di Jakarta muncul aliran revolusionaer sosialistis yang dipimpin
oleh Semaun. Pada saat itu ia menduduki jabatan ketua pada SI lokal Semarang.
Walaupun demikian, kongres tetap memutuskan bahwa tujuan perjuangan Sarekat
Islam adalah membentuk pemerintah sendiri dan perjuangan melawan penjajah dari
kapitalisme yang jahat. Dalam Kongres itu diputuskan pula tentang keikutsertaan
partai dalam Voklsraad. HOS Tjokroaminoto (anggota yang diangkat) dan Abdul
Muis (anggota yang dipilih) mewakili Sarekat Islam dalam Dewan Rakyat
(Volksraad).
Pada Kongres Sarekat Islam Ketiga tahun 1918 di
Surabaya, pengaruh Sarekat Islam semakin meluas.
Sementara itu pengaruh Semaun menjalar ke tubuh SI. Ia
berpendapat bahwa pertentangan yang terjadi bukan antara penjajah-penjajah,
tetapi antara kapitalis-buruh. Oleh karena itu, perlu memobilisasikan kekuatan
buruh dan tani disamping tetap memperluas pengajaran Islam. Dalam Kongres SI
Keempat tahun 1919, Sarekat Islam memperhatikan gerakan buruh dan Sarekat
Sekerja karena hal ini dapat memperkuat kedudukan partai dalam menghadapi
pemerintah kolonial. Namun dalam kongres ini pengaruh sosial komunis telah
masuk ke tubuh Central Sarekat Islam (CSI) maupun cabang-cabangnya. Dalam
Kongres Sarekat Islam kelima tahun 1921, Semaun melancarkan kritik terhadap
kebijaksanaan Central Sarekat Islam yang menimbulkan perpecahan.
Rupanya benih perpecahan semakin jelas dan dua aliran
itu tidak dapat dipersatukan kembali. Dalam Kongres Luar Biasa Central Sarekat
Islam yang diselenggarakan tahun 1921 dibicarakan masalah disiplin partai.
Abdul Muis (Wakil Ketua CSI) yang menjadi pejabat Ketua CSI menggantikan
Tjokroaminoto yang masih berada di dalam penjara, memimpin kongres tersebut.
Akhirnya Kongres tersebut mengeluarkan ketetapan aturan Disiplin Partai.
Artinya, dengan dikeluarkannya aturan tersebut, golongan komunis yang diwakili
oleh Semaun dan Darsono, dikeluarkan dari Sarekat Islam. Dengan pemecatan
Semaun dari Sarekat Islam, maka Sarekat Islam pecah menjadi dua, yaitu Sarekat
Islam Putih yang berasaskan kebangsaan keagamaan di bawah pimpinan
Tjokroaminoto dan Sarekat Islam Merah yang berasaskan komunis di bawah pimpinan
Semaun yang berpusat di Semarang.
Pada Kongres Sarekat Islam Ketujuh tahun 1923 di
Madiun diputuskan bahwa Central Sarekat Islam digantikan menjadi Partai Sarekat
Islam (PSI). dan cabang Sarekat Islam yang mendapat pengaruh komunis menyatakan
diri bernaung dalam Sarekat Rakyat yang merupakan organisasi di bawah naungan
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada periode antara tahun 1911-1923 Sarekat Islam
menempuh garis perjuangan parlementer dan evolusioner. Artinya, Sarekat Islam
mengadakan politik kerja sama dengan pemerintah kolonial. Namun setelah tahun
1923, Sarekat Islam menempuh garis perjuangan nonkooperatif. Artinya,
organisasi tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial, atas nama dirinya
sendiri. Kongres Partai Sarekat Islam tahun 1927 menegaskan bahwa tujuan
perjuangan adalah mencapai kemerdekaan nasional berdasarkan agama Islam. Karena
tujuannya adalah untuk mencapai kemerdekaan nasional maka Partai Sarekat Islam
menggabungkan diri dengan Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Pada tahun 1927 nama Partai Sarekat Islam ditambah
dengan “Indonesia” untuk menunjukan perjuangan kebangsaan dan kemudian namanya
menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Perubahan nama itu dikaitkan
dengan kedatangan dr. Sukiman dari negeri Belanda. Namun dalam tubuh PSII
terjadi perbedaan pendapat antara Tjokroaminoto yang menekankan perjuangan
kebangsaan di satu pihak, dan di pihka lain dr. Sukiman yang menyatakan keluar
dari PSII dan mendirikan Partai Islam Indonesia (PARI). Perpecahan ini
melemahkan PSII. Akhirnya PSII pecah menjadi PSII Kartosuwiryo, PSII Abikusno,
PSII, dan PARI dr. Sukiman.
Sejarah perjalan serikat Dagang Islam mengalami pasang
surut,didalam percaturan politik tanah air,sejak jaman penjajahan belanda
sampai saat ini, Namun yang harus kita ambil pelajaran bahwa cita-cita dari
organisasi Seikat Dagang Islam dalam melepaskan diri dari segala bentuk
penjajahan, itulah yang harus menjadi insvirator dan motivator bagi kita
generasi muda hari ini untuk terus berjuang memajukan bangsa dan Negara
Adapun faktor-faktor yang mendorong didirikannya
Serikat Islam adalah:
·
Faktor ekonomi, yaitu untuk memperkuat diri menghadapi Cina yang
mempermainkan penjualan bahan baku batik.
·
Faktor agama, yaitu untuk memajukan agama Islam.
Tujuan Serikat Islam meliputi:
·
Mengembangkan jiwa dagang,
·
Membantu para anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha,
·
Memajukan pengajaran dan semua usaha yang menaikkan derajat rakyat,
·
Memperbaiki pendapat yang keliru mengenai agama Islam, dan
·
Hidup menurut perintah agama.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan Serikat Islam cepat berkembang
adalah:
·
Kesadaran sebagai bangsa yang mulai tumbuh,
·
Sifatnya kerakyatan,
·
Didasari agama Islam,
·
Persaingan dalam perdagangan, dan
·
Digerakkan para ulama.
Kongres Serikat Islam pertama pada bulan Januari 1913 di Surabaya dengan
hasil:
·
Menegaskan bahwa Serikat Islam bukan partai politik,
·
Serikat Islam tidak bermaksud melawan pemerintah Belanda,
·
Memilih HOS Cokroaminoto sebagai ketua, dan
·
Menetapkan Surabaya sebagai pusat Serikat Islam.
Pada tahun 1914 berdiri organisasi berpaham sosialis yang didirikan oleh
Sneevlit, yaitu ISDV (Indische Social Democratische Vereeniging). Namun
organisasi yang didirikan orang Belanda di Indonesia ini tidak mendapat simpati
rakyat, oleh karena itu diadakan “Gerakan Penyusupan” ke dalam tubuh Serikat
Islam yang akhirnya berhasil mempengaruhi tokoh-tokoh Serikat Islam muda
seperti Semaun, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin.
Akibatnya banyak anggota Serikat Islam yang menjadi sosialis terutama
Serikat Islam cabang Semarang. Sejak inilah keanggotaan Serikat Islam pecah
menjadi dua yang disebut Serikat Islam Merah yang berhaluan Komunis dan Serikat
Islam Putih yang asli. Serikat Islam Merah dipimpin oleh Semaun dan Tan Malaka,
Serikat Islam Putih dipimpin oleh Agus Salim dan Abdul Muis, Cokroaminoto.
Kyai Agus Salim melakukan tindakan:
·
Mengadakan disiplin partai,
·
Meningkatkan pendidikan kader Serikat Islam dalam rangka memperkuat
organisasi, Mengubah CSI (Central Serikat Islam) menjadi PSI (Partai Serikat
Islam) (tahun 1923), kemudian diubah lagi menjadi PSII (Partai Serikat Islam
Indonesia) (tahun 1929), dan
·
Memperkuat pengaruh agama dalam organisasi.
·
Tindakan pengurus Serikat Islam tersebut dilawan oleh pimpinan Serikat
Islam Merah dengan mendirikan kantor Serikat Islam Merah dimana Serikat Islam
Putih berada.
EmoticonEmoticon